Hari
sabtu ini di desa pangbarani akan dilaksanakan hajatan pernikahan anak
perempuan satu-satunya dari ibu Upa dan pak Hode’ yang bernama Linda. Seminggu
sebelum hajatan pernikahan, para leleki pergi mengambil kayu bakar dihutan atau
kebun sedangkan para wanita bertugas untuk menyediakan makanan untuk para
lelaki tersebut. Biasanya kegiatan mengambil kayu di hutan dilakukan oleh
tetangga dekat rumah atau keluarga dari yang punya hajatan.
Kayu yang diambil dari kebun dan hutan
Dua
hari sebelum hajatan, para warga desa sudah mulai berdatangan terutama para ibu-ibu
yang akan membuat kue, bumbu-bumbu masakan dan memasak untuk nantinya mereka
makan bersama. Biasanya kegiatan ini berlangsung sampai jam 12 malam. Sudah
menjadi kebiasaan masyarakat di desa pangbarani membantu warga desa yang
melaksanakan hajatan. Kapan persisnya tradisi ini bermula, belum ada informasi
yang pasti, tapi yang jelas tradisi ini masih berlangung sampai sekarang.
Wanita yang sedang membersihkan daun pisang dan membuat kue la'pa |
Juru
masak yang dipercaya untuk handled
dan bertanggung jawab terhadap menu yang akan disaan pada saat hajatan
adalah mama Suraida (ibu Sawalang). Tidak seperti dikota, dikampung pangbarani
dan sekitarnya seorang juru masak tidak dibayar dengan uang, ucapan terimakasih
biasanya cukup dengan memberikan mereka barang pecah belah atau sarung atau
kain.
Pada
hari H, setelah sholat Subuh, mama Suraida langsung menuju kerumah ibu Upa untuk
memastikan semua bahan dan peralatan masak telah siap. Hari ini satu ekor sapi
akan disembelih oleh iman desa dan ratusan potong ayam akan tiba dari tempat
pemotongan ayam. Tugas mama Suraida selain memasak bahan mentah menjadi makanan
yang lezat beliau juga bertugas membagi sapi menjadi dua bagian. Bagian yang
pertama daging sapi yang akan dimasak untuk disantap warga dusun janggurara
tempat hajatan terlaksana - tradisi ini disebut ‘Kasi Makan Orang Kampung’ -
dan bagian yang kedua daging sapi yang akan dihidangkan untuk tamu undangan.
warga desa yang sedang memotong daging dan tulang sapi |
Pemandangan
saat melihat warga desa bekerja pada pilihan pekerjaan masing-masing menimbulkan
keharmonisan kerja sama yang indah, para wanita dan pria mengatur dirinya
sendiri tanpa perlu dikoordinasi. Anda akan jarang melihat seorang ibu atau
wanita yang tangannya tidak bergerak mengerjakan sesuatu. Manajemen waktunya
diperhitungkan dengan sangat baik sehingga semua masakan terselesaikan dengan
waktu yang telah ditentukan dan tradisi makan satu kampung (dusun) bisa
terlaksana tepat waktu.
Para ibu yang sedang memotong sayuran dan memarut kelapa |
Dalam
tradisi hajatan ini, warga kampung yang datang membantu disediakan hidangan kue
dan minuman. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang setelah menyelesaikan pekerjaannya
berombongan naik ke rumah untuk menyantap kue dan minum teh atau kopi yang
disediakan oleh ibu Upa dan keluarga, biasanya ibu-ibu mengajak serta
anak-anaknya yang masih kecil untuk ikut menikmati kue dan teh. Setelah
menyantap kue dan minum, beberapa dari warga kampung pulang kerumah
masing-masing dan sebagian besar kembali bekerja sambil mengunggu mempelai pria
datang dan ikut menyaksikan prosesesi pernikahan serta menunggu tradisi makan
satu kampung.
Warga desa yang sedang menikmati kue sambil menyeruput kopi atau teh |
Pada
pukul 10.15 mempelai pria datang beserta pengantarnya dan pukul 10.30 prosesi
pernikahan dimulai, prosesi ini berlangsung sekitar satu jam dan selesai
sebelum pukul 12 siang. Setelah prosesi pernikahan selesai, para pengantar
menyantap makanan yang telah dihidangkan bersamaan dengan warga dusun
janggurara melaksanakan tradisi makan satu kampung.
Selama
prosesi pernikahan berlangsung, ibu-ibu yang bertugas masanduk nasi (menyendok
nasi kepiring) di dapur menyiapkan makanan untuk warga kampung, proses
penyajiaannya setiap piring diisi dengan nasi beserta lauk pauknya lalu diatur
diatas tanah yang sudah dilapisi tikar plastic. Setelah semua siap, barulah
warga kampung dipanggil makan barsama. Setiap warga yang hadir berhak atas satu
piring nasi beserta lauk pauk, jika ingin tambah nasi atau lauk pauk harus
minta ke ibu yang bertugas mengsanduk nasi.
Perasaan
saya sebagai warga kota yang turut meriahkan tradisi makan satu kampung ini merasa
senang sekaligus bangga karena orang tua saya berasal dari kampung yang sangat
menjunjung nilai-nilai kearifan local yang sekarang sudah mulai pudar di
masyarakat perkotaan. Saya berharap tradisi makan satu kampung tetap bertahan
diera modern yang serba susuh dan individualis, tapi faktanya Tradisi makan satu kampung
sudah tidak dilaksanakan di hampir sebagian besar desa dan dusun di Kabupaten
Enrekang, alasannya karena masalah pembengkakan biaya pernikahan, kerepotan
meminjam peralatan masak, terutama piring dan sudah mulai berpikir selayaknya
orang kota. Kalaupun suatu hari tradisi ini hilang semoga semangat kebersamaan
dan tolong monolong tidak ikut hilang di warga desa Pangbarani.
Tradisi Makan Satu Kampung |
0 komentar:
Posting Komentar