Senin, 05 Oktober 2015

Tradisi 'Makan Satu Kampung' di Desa Pangbarani Dusun Janggurara’



Hari sabtu ini di desa pangbarani akan dilaksanakan hajatan pernikahan anak perempuan satu-satunya dari ibu Upa dan pak Hode’ yang bernama Linda. Seminggu sebelum hajatan pernikahan, para leleki pergi mengambil kayu bakar dihutan atau kebun sedangkan para wanita bertugas untuk menyediakan makanan untuk para lelaki tersebut. Biasanya kegiatan mengambil kayu di hutan dilakukan oleh tetangga dekat rumah atau keluarga dari yang punya hajatan.


Kayu yang diambil dari kebun dan hutan 

Dua hari sebelum hajatan, para warga desa sudah mulai berdatangan terutama para ibu-ibu yang akan membuat kue, bumbu-bumbu masakan dan memasak untuk nantinya mereka makan bersama. Biasanya kegiatan ini berlangsung sampai jam 12 malam. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat di desa pangbarani membantu warga desa yang melaksanakan hajatan. Kapan persisnya tradisi ini bermula, belum ada informasi yang pasti, tapi yang jelas tradisi ini masih berlangung sampai sekarang.


Wanita yang sedang membersihkan daun pisang dan membuat kue la'pa

Juru masak yang dipercaya untuk handled dan bertanggung jawab terhadap menu yang akan disaan pada saat hajatan adalah mama Suraida (ibu Sawalang). Tidak seperti dikota, dikampung pangbarani dan sekitarnya seorang juru masak tidak dibayar dengan uang, ucapan terimakasih biasanya cukup dengan memberikan mereka barang pecah belah atau sarung atau kain.
Pada hari H, setelah sholat Subuh, mama Suraida langsung menuju kerumah ibu Upa untuk memastikan semua bahan dan peralatan masak telah siap. Hari ini satu ekor sapi akan disembelih oleh iman desa dan ratusan potong ayam akan tiba dari tempat pemotongan ayam. Tugas mama Suraida selain memasak bahan mentah menjadi makanan yang lezat beliau juga bertugas membagi sapi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama daging sapi yang akan dimasak untuk disantap warga dusun janggurara tempat hajatan terlaksana - tradisi ini disebut ‘Kasi Makan Orang Kampung’ - dan bagian yang kedua daging sapi yang akan dihidangkan untuk tamu undangan.


warga desa yang sedang memotong daging dan tulang sapi
Pemandangan saat melihat warga desa bekerja pada pilihan pekerjaan masing-masing menimbulkan keharmonisan kerja sama yang indah, para wanita dan pria mengatur dirinya sendiri tanpa perlu dikoordinasi. Anda akan jarang melihat seorang ibu atau wanita yang tangannya tidak bergerak mengerjakan sesuatu. Manajemen waktunya diperhitungkan dengan sangat baik sehingga semua masakan terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan dan tradisi makan satu kampung (dusun) bisa terlaksana tepat waktu.



Para ibu yang sedang memotong sayuran dan memarut kelapa
Dalam tradisi hajatan ini, warga kampung yang datang membantu disediakan hidangan kue dan minuman. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang setelah menyelesaikan pekerjaannya berombongan naik ke rumah untuk menyantap kue dan minum teh atau kopi yang disediakan oleh ibu Upa dan keluarga, biasanya ibu-ibu mengajak serta anak-anaknya yang masih kecil untuk ikut menikmati kue dan teh. Setelah menyantap kue dan minum, beberapa dari warga kampung pulang kerumah masing-masing dan sebagian besar kembali bekerja sambil mengunggu mempelai pria datang dan ikut menyaksikan prosesesi pernikahan serta menunggu tradisi makan satu kampung.

Warga desa yang sedang menikmati kue sambil menyeruput kopi atau teh
Pada pukul 10.15 mempelai pria datang beserta pengantarnya dan pukul 10.30 prosesi pernikahan dimulai, prosesi ini berlangsung sekitar satu jam dan selesai sebelum pukul 12 siang. Setelah prosesi pernikahan selesai, para pengantar menyantap makanan yang telah dihidangkan bersamaan dengan warga dusun janggurara melaksanakan tradisi makan satu kampung.
Selama prosesi pernikahan berlangsung, ibu-ibu yang bertugas masanduk nasi (menyendok nasi kepiring) di dapur menyiapkan makanan untuk warga kampung, proses penyajiaannya setiap piring diisi dengan nasi beserta lauk pauknya lalu diatur diatas tanah yang sudah dilapisi tikar plastic. Setelah semua siap, barulah warga kampung dipanggil makan barsama. Setiap warga yang hadir berhak atas satu piring nasi beserta lauk pauk, jika ingin tambah nasi atau lauk pauk harus minta ke ibu yang bertugas mengsanduk nasi.




Hidangan untuk dimakan bersama warga dusun Janggurara'

Perasaan saya sebagai warga kota yang turut meriahkan tradisi makan satu kampung ini merasa senang sekaligus bangga karena orang tua saya berasal dari kampung yang sangat menjunjung nilai-nilai kearifan local yang sekarang sudah mulai pudar di masyarakat perkotaan. Saya berharap tradisi makan satu kampung tetap bertahan diera modern yang serba susuh dan individualis, tapi faktanya Tradisi makan satu kampung sudah tidak dilaksanakan di hampir sebagian besar desa dan dusun di Kabupaten Enrekang, alasannya karena masalah pembengkakan biaya pernikahan, kerepotan meminjam peralatan masak, terutama piring dan sudah mulai berpikir selayaknya orang kota. Kalaupun suatu hari tradisi ini hilang semoga semangat kebersamaan dan tolong monolong tidak ikut hilang di warga desa Pangbarani.

Tradisi Makan Satu Kampung


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Lion

Jam

Alexa Rank

Blogger templates